Falsafah BUMI KAYONG:

MUSTIKE INDAH
JAYE SEMPURNE
DILUPAKAN PANTANG
DILANGKAH TULAH

Kamis, 03 Juli 2008

MENCERMATI KEPINCANGAN OTONOMI DAERAH


Otonomi daerah sebagai langkah maju guna menyelesaikan problem-problem daerah terutama untuk mempercepat proses pembangunan yang selama orde baru tersumbat nampaknya belum sedemikian baik. Penetapan sistem otonomi daerah di Indonesia mengandaikan keleluasan pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan pembangunan di luar ketentuan-ketentuan yang menjadi urusan pemerintah. Pemerintah daerah mengecualikan urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal nasional, mempunyai hak untuk menetapkan kebijakan bagi arah pembangunan di daerahnya.


Namun demikian, pada proses pelaksanaannya, tidak hanya tujuh sektor yang tak dapat ditembus pemerintah daerah. Masih banyak sektor-sektor lain yang cenderung ambigu dan tak jarang berujung pada proses tarik menarik antara kepentingan pusat dan daerah.
Sebut saja soal kehutanan misalnya. Meskipun secara teoritis desain “Otonomi Daerah” memungkinkan pemerintah daerah berhak dan berwenang untuk mengatur serta mendayagunakan kawasan hutan untuk kepentingan peningkatan pendapatan daerah, akan tetapi, pada praktiknya tidaklah mudah. Rumusan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 230/kpts-II/th. 2003 tentang kewenangan pemerintah pusat, melalui menteri kehutanan yang mempunyai hak untuk menentukan dan merumuskan kriteria tersendiri apakah suatu kawasan dapat dikategorikan kawasan hutan lindung, hutan produksi, Hutan Tanam Industri (HTI), adalah potret bahwa sebenarnya potensi tarik menarik kepentingan antara lokal dan pusat masih teramat kuat.
Belum lagi ditambah sederet daftar regulasi pemerintah yang melingkupi ruang investasi, deforestasi (alih fungsi lahan) dan kebijakan-kebijakan lain. Contoh sederhananya adalah Keputusan Pemerintah No.41 th. 2004 dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 tahun 2004 yang telah memberikan peluang baru dibukanya hutan untuk konsesi pertambangan di kawasan hutan lindung. Sampai saat ini, tercatat ada 13 perusahaan pertambangan yang sudah beroperasi di 12 propinsi.
Pada Maret 2008, kembali pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.2 tentang Penerimaan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dari pemanfaatan kawasan hutan untuk penggunaan lain. versi Pemerintah, PP ini diperuntukkan bagi 13 perusahaan yang mendapat ijin konsesi sesuai dengan Kepres N0.41/2004 dan Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008 (revisi dari PP No.6 tahun 2007) tentang Penyusunan dan Perencanaan Pengelolaan Kawasan Hutan (implementasi dari sistem blok atau KPH-Kesatuan Pengelolaan Hutan).
Regulasi kebijakan Pemerintah tersebut bertujuan untuk meningkatkan investasi di sektor kehutanan (industri) sesuai tujuan revitalisasi. Sekali pun PP No.3 tahun 2008 tidak mendapat respon publik sedahsyat PP. No.2 yang memunculkan polemik para pihak, PP No.3 tampak memiliki tujuan lain dari Departemen Kehutanan. Dengan mempersiapkan sekitar 5.000 tenaga kehutanan yang akan ditempatkan di KPH-KPH di tingkat Kabupaten, Departemen Kehutanan akan "mengambil alih" kewewenangnya atas kehutanan daerah (dinas) seperti sedia kala, saat masih pengelolaan kawasan hutan terpusat lewat kantor wilayah.
Dengan demikian, investasi asing lebih mudah mendapatkan jalan implementasinya melalui Pusat. Pelaksanaan otonomi daerah menuai citra buruk. Akibatnya, bisa jadi banyak daerah "gagap" menjalankan otonomi sehingga potret otonomi daerah di sektor kehutanan menciptakan keraguan sendiri bagi kalangan investor.
Belum lagi dampak disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) beberapa waktu lalu oleh pemerintah. Dalam salah satu diktumnya, investasi atau modal asing dapat dijalankan hingga mencapai masa kontrak seratus tahunan.
Bias-bias “sentralisasi” model ini tampaknya akan terus menghantui konsep pertumbuhan ekonomi lokal seiiring dengan digaungkannya “Otonomi Daerah”. Setidaknya terdapat tiga hal yang menghawatirkan terkait dengan ekses otonomi setengah hati di bidang kehutanan.
Pertama, terjadinya konflik kepentingan yang mengarah pada proses terjadinya disharmonisasi antara pusat dan daerah sehingga mengakibatkan program-program pembangunan baik dalam skala lokal maupun nasional menjadi terhambat. Konflik kepentingan acap kali terjadi akibat Perundang-undangan tentang kewenangan pengelolaan hutan dimaknai ambigu, daerah diberikan kewenangan di satu sisi sementara pusat membelenggu pada sisi yang lain.
Kedua, munculnya konflik kawasan yang disebabkan oleh benturan investasi, regulasi dan resistensi sehingga dapat menyebabkan aspek sosial dan lingkungan menjadi buruk. Tidak adanya upaya solutif yang mengatur secara langsung di lapangan, konflik kawasan secara tidak langsung dapat mengakibatkan masyarakat menjadi miskin. Akibat terjadinya konflik kawasan selama ini, hampir 10, 2 juta masyarakat dari total 48,8 juta masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dalam keadaan miskin (Brown Via Cifor, 2006). Selain itu, konflik kawasan juga menimbulkan kerusakan lahan dan berkurangnya luasan hutan. Selama satu dekade, hutan Indonesia mengalami deforestasi rata-rata 2,8 juta hektar pertahun (Lutoifi, 2008).
Ketiga pengaturan soal hutan yang tidak jelas dan jauh dari perspektif sosial berakibat pada munculnya konflik antara masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Tidak jarang, akibat implementasi perundang-undangan yang tidak sesuai dengan lapangan, pemerintah daerah menjadi “kambing hitam”. Kasus illegal loging dan pertambangan illegal masyarakat di beberapa daerah, menjadi bukti retaknya hubungan pemerintah daerah dan masyarakat sekitarnya. Penertiban dimaknai masyarakat sebagai pencerabutan sumber-sumber ekonomi rakyat sehingga konflik menjadi kuat. Padahal, yang harus dipikirkan sejauh ini adalah bagaimana agar kantong-kantong eknomi rakyat yang bersumber dari hutan didesain seadill mungkin sehingga tidak ada dikotomi masyarakat dan negara. Hutan adalah potensi alam,, selain harus dijaga juga diperuntukkan bagi manusia yang tinggal disekitarnya.
Kehawatiran-kehawatiran ini bisa jadi akan memberikan ruang bagi proses terjadinya konflik yang meluas antar negara dan rakyat. Aliensi rakyat, pengusaha lokal dan aparatur pemerintah lokal untuk menyatukan gerakan sosial bisa mungkin terjadi karena ketimpangan-ketimpangan tersebut. Tentu saja, pemaknaan hutan sebagai aset ekonomi dan lingkungan sekaligus, harus dipahami pemerintah pusat sebagai lahan produktif bagi proses percepatan pertumbuhan ekonomi daerah.
Kasus Hutan Tanam Industri di beberapa daerah di kalimantan misalnya yang sekian tahun tidak pernah memperlihatkan aspek produktifitasnya juga menjadi contoh bagi kepincangan komunikasi pusat dan daerah. Akibat kontrak HTI dengan perusahaan swasta di level pusat, pemerintah daerah kesulitan mendapatkan peluang memperbesar pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Lagi-lagi, persoalannya amat sederhana: legal-formal dan aspek yuridis, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mencabut izin dan melakukan kontrak pinjam pakai.
Dalam contoh-contoh yang kasat ini, setidaknya ada pertanyaan menggelitik yang patut direnungi bersama, yakni, apakah pusat hanya berorientasi “Makelar” dan atau apakah fenomena tersebut menggambarkan lemahnya aspek kontrol, pengawasan dan penindakan?. Suatu pertanyaan ironik yang mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa “terpusat tidak berarti manfaat”.
Lalu, apa kepentingan yang menggurita bagi sekelompok kekuasaan pusat terhadap cara-cara yang masih berbau sentralistik sementara mereka abai terhadap kepentingan yang lebih realistis. Yakni, masyarakat lokal yang hendak mengembangkan potensi ekonominya secara lebih merata dan memiliki kesempatan yang sama?. Sebuah realitas yang timpang antara idealitas mempercepat sektor ekonomi lokal yang berbingkai “Otonomi Daerah” dengan kebijakan-kebijakan pusat yang buta lapangan dan acap kali mengkolonialisasi potensi-potensi lokal yang seyogyanya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Idealnya, otonomi daerah di sektor kehutanan membuka ruang yang seluas-luas bagi kewenangan pemerintah di level propinsi dan kabupaten untuk mendayagunakan, memanfaatkan dan mengatur dengan tidak lepas dari prinsip-prinsip dasar: menjaga kelestarian alam, keadilan sosial dan ramah lingkungan. Tentu saja, ini digagas semata karena pemerintah provinsi dan kabupaten jauh lebih memahami kondisi masyarakat dan alam sekitarnya.

Wallahu ‘alam bissawab.
Oleh : Yasyir Ansyari
*Penulis adalah Ketua Himpunan Wiraswasta Nasinal Minyak dan Gas Bumi (HISWANA MIGAS) Kab.Ketapang

Tidak ada komentar: