Falsafah BUMI KAYONG:

MUSTIKE INDAH
JAYE SEMPURNE
DILUPAKAN PANTANG
DILANGKAH TULAH

Minggu, 08 April 2012

SAUDARA KITA YANG TERASING DI PERKEBUNAN

Sektor industri saat ini merupakan poros ekonomi yang menentukan naik atau turunnya perekonomian dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya sejak dimunculkan UU agraria dan perburuhan pertama di masa pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1870-1880. Berawal dari sektor pertanian/ perkebunan yang dari waktu ke waktu terhimpit oleh ekspansi industri yang menyebar di wilayah-wilayah baik perkotaan hingga ke desa-desa.


Lain halnya pada sisi kesejahteraan buruh sebagai tenaga upahan yang seyogyanya meningkat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi akibat industrialisasi, malah mengalami keterpurukan yang menjadi-jadi. Semakin jauh letak perusahaan/perkebunan dari pusat-pusat kota ketika itu, semakin kecil pula upah yang didapat oleh buruh. Kebebasan pengusaha dalam menentukan upah, aturan-aturan diskriminasi yang tidak berpihak pada buruh, keterbelakangan kondisi sosial masyarakat di pedesaan, membuat para pengusaha sanggup melakukan apapun untuk melipatgandakan keuntungan produksinya tanpa memperhatikan kesejahteraan buruh-buruhnya.

Kondisi di masa kolonial itu ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan bagi buruh-buruh khususnya di perkebunan untuk mendapatkan kesejahteraan yang cukup. Kondisi itu tercermin dengan “tidak berlakunya” penetapan nilai UMK/Kabupaten dengan pemberlakuan upah yang dikendaki sepihak oleh pengusaha perkebunan dengan upah harian yang sangat jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak. Sebagai contohnya di perkebunan teh areal PTPN VIII Ciwidey, Jawabarat. Upah yang didapat dengan memetik teh dalam satu hari kerja yang melebihi 8 jam berhasil mengumpulkan rata-rata 20-25 kg/individu. Tiap kilogramnya hanya dihargai Rp. 700 (PT. MILENIA). Kiranya kita dapat mengukur berapa banyak pendapatan mereka selama sebulan sekalipun harus bekerja setiap harinya. Bahkan masih banyak daerah perkebunan lain seperti halnya di daerah Cikalong, Sukabumi yang masih dihargai Rp. 400/kg. Padahal produk teh yang dihasilkan bukanlah produk yang berkualitas rendah, namun produk ekspor alias produk unggulan yang jika telah menjadi produk jadi siap jual di pasaran bisa mencapai Rp. 6000/100gram atau setara dengan Rp. 60.000/kg. Jauh dari “penghargaan” yang didapat oleh saudara-saudara kita di perkebunan.

Strategi Kolonialisme Belum Musnah

Jarak perkebunan yang jauh dari kota-kota sebagai sentra ekonomi dan politik memang merupakan salah satu faktor yang sejak zaman kolonial diciptakan untuk menekan pengeluaran modal produksi serta menghambat gerak masif buruh dalam pengetahuan dan pertahanan mereka atas hak-haknya secara keseluruhan. Hal lainnya adalah strategi pengusaha perkebunan yang dengan cerdiknya menciptakan keterbatasan ruang gerak buruh dalam memperoleh pendidikan dan menciptakan ketergantungan kepada perusahaan atas kelangsungan hidup sehari-hari bagi seorang buruh dan keluarganya.

Jika kita memandangnya dengan sepintas, memang terdapat bayang-bayang “kenyamanan” yang didapat. Sebuah tempat tinggal untuk setiap kepala keluarga, bekerja dengan sejuknya alam pegunungan, kavling-kavling desa yang bersusun rapi, masyarakat yang ramah, bermatapencaharian sama, yang mungkin memudahkan masyarakat itu untuk saling membantu, berkomunikasi dan membuat kumpulan yang kuat.

Namun, nyatanya semua itu hanyalah ilusi yang diberikan sementara, yang sewaktu-waktu dapat terampas. Rumah sebagai tempat tinggal suatu keluarga bukanlah rumah dengan hak milik penuh. Sifatnya hanyalah pinjaman yang selama mereka masih bekerja di perkebunan itu, mereka mendapatkan hak untuk tinggal. Padahal banyak di antara mereka yang sebenarnya merupakan masyarakat lokal yang telah tinggal bertahun-tahun lamanya.

Sejuknya alam pegunungan pun menjadi sesak ketika tenaga yang mereka keluarkan dalam sehari kerja, masih belum bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Anak-anak hanya mampu sekolah hingga tingkat SLTP atau bahkan hanya lulusan madrasah di lingkungannya, karena jarak dan biaya yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak-anak terlampau tinggi. Sekolah yang jauh, sarana transportasi yang terbatas dan mahal, membuat para buruh mengurungkan niatnya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Terbentur oleh dua pilihan, sekolah namun dapur tidak mengepul? Atau tidak usah sekolah namun dapur bisa mengepul?

Dalam pilihan itu tentu kita akan serentak berargumen, “Itu bukanlah pilihan,” atau “Lebih baik dapur mengepul tapi anak-anakpun bisa sekolah.” Tapi realitas berbicara lain, kondisi yang teramat sulit ketika kesadaran akan ketertindasan belum terbentuk dan kemerdekaan berpikir belum mereka alami. Karena seketika itu pula mereka menjawab, “Untuk apa sekolah jauh-jauh, toh jika kerja, tetap pulang jadi pemetik teh.”

Kondisi sosial masyarakat yang menjadi budaya turun-temurun itu dirancang, diciptakan pemilik kebun dari zaman kolonial Hindia Belanda, agar buruh-buruh tidak mengalami kemajuan berpikir dengan tidak menyediakan sekolah rakyat yang dapat terjangkau, agar buruh-buruh tidak dapat keluar dari lingkungan sosial di “kavling para buruh” dan dari lingkup kerjanya dari generasi ke generasi.

Mencetak ulang pekerja-pekerja baru tanpa harus menunggu orang-orang melamar pekerjaan ataupun mengeluarkan pesangon yang layak bagi mereka yang ingin pensiun. Pekerja akan datang dengan sendirinya silih berganti dari generasi ke generasi. Tercuci pikirannya agar dapat menerima segala keinginan perusahaan dan menganggapnya sebagai “kebaikan perusahaan untuk kita bersama.” Sebuah strategi taktik yang cemerlang bagi para penjajah dahulu yang terbukti hingga hari ini efektif dilakukan dan dikembangkan, menyulap “kamp-kamp konsentrasi” menjadi kavling-kavling pemukiman para buruh. Dengan bentuk yang serupa namun dengan gaya yang berbeda dan akhirnya kesejahteraan bagi buruh-buruh perkebunan menjadi semu.

Pengusaha, Mandor, dan Aparatur Desa

Bertahun-tahun lamanya buruh-buruh perkebunan secara turun-temurun, disadari maupun tidak, tengah mengalami keterasingan dalam tingkat pendidikan, kultur sosial, ekonomi dan politik bahkan kesadaran akan ketertindasan yang tengah dialami.

Pengusaha perkebunan tetap menggunakan kaki-tangannya untuk mengkontrol gerak dan “efektifitas kerja” para buruhnya. Dengan mandor-mandor kebun sebagai centeng yang mengatur dan mengawasi kerja secara langsung, bahkan aparatur desa seperti lurah yang dengan banyak kasus-kasus di perkebunan menjadi “alat kontrol gerak sosial masyarakat” yang menguatkan, meyakinkan kepada masyarakat atas kehendak yang diinginkan pengusaha. Hingga premanisme di lingkungan tempat tinggal mereka untuk mengebiri benih-benih revolusioner buruh perkebunan yang hendak tumbuh.

Di sisi lain, institusi-institusi negara dan aturan-aturan yang diproduksinya bagaikan peluru kosong yang hanya bisa digunakan untuk menggertak kondisi perburuhan kita. Sebuah kenyataan yang memprihatinkan karena tidak adanya keberpihakan negara seperti yang tertera dalam konstitusi UUD’45, mengenai hak warganegara atas pendidikan, mengenai kesejahteraan rakyat pekerja. Semakin lama aturan itu hanya menjadi janji manis pemerintah untuk mengelabui rakyat. Bersembunyi di balik kekuasaan demi keberpihakan negara atas modal para pengusaha yang memeras kita dengan bahasa indah “investasi” di tanah kita sendiri.

Pendidikan Alternatif dan Serikat Buruh

Pendidikan baik formal maupun informal menjadi salah satu faktor penentu yang dapat membantu perkembangan kesadaran dan kemajuan berpikir masyarakat. Karena dengan kesadaran itulah manusia akan belajar, memilah-milah baik dan buruknya suatu hal dan memacu manusia itu untuk meraih kesejahteraan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Ketika kita mencoba mencerminkan hal tersebut pada kenyataan saudara-saudara kita di perkebunan, apa yang dapat kita lakukan? Adalah sebuah kebutuhan, solidaritas, bahkan kewajiban kita khususnya peranan organisasi buruh progresif yang dapat membantu untuk memberikan pengajaran melalui metode pendidikan alternatif kaum buruh sebagai modal awal membuka kesadaran bersama mengenai posisi dan ketertindasan yang dialami. Membuka kelas-kelas belajar ataupun dengan membuat forum-forum diskusi yang terprogram di kavling-kavling buruh.

Melakukan pengorganisiran dan menghimpun kekuatan kolektif yang sadar, untuk membentuk serikat buruh independen yang progresif sebagai wadah legal atau pengikat kekuatan kolektif buruh perkebunan. Karena dengan kolektivitas massa yang sadarlah, perlawanan sejati akan tercipta.

Di sisi lain organisasi-organisasi buruh di kota/kabupaten pun dapat bersolidaritas dengan mengusung isu buruh perkebuanan di setiap aksi-aksi massa, atau hal lain yang memungkinkan kita lakukan demi terciptanya kesejahteraan bersama kaum buruh.

Tidak ada komentar: