KETAPANG, TRIBUNNEWS.COM -- Keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Dayak dan Melayu di Ketapang dirasakan semakin terpinggirkan. Satu di antara penyebabnya yakni kapitalisme internasional yang telah masuk wilayah terpencil, dalam bentuk perkebunan kelapa sawit.
Hal ini mengemuka dalam sosialisasi penelitian Eksistensi dan Hak-Hak Masyarakat Adat Dayak dan Melayu di Kabupaten Ketapang, Sabtu (16/10/2010).
Untuk mendalami hal ini, Yayasan Bio Damar yang berkedudukan di Pontianak, melakukan penelitian sebagai upaya menghasilkan sebuah model pembangunan berkelanjutan.
Direktur Yayasan Bio Damar, Stepanus Djuweng, menuturkan, persiapan penelitian ini sudah dilakukan sejak dua bulan lalu. Setelah sosialisasi ini, penelitian segera dimulai hingga Desember.
"Nantinya masih ada presentasi lanjutan ke Pemda Ketapang. Ketua DPRD Gusti Kamboja dan Pemkab kami rasa sangat mendukung," kata Djuweng.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapat gambaran tentang pembangunan yang kerap tidak memandang keberadaan masyarakat adat. Pembangunan seakan-anak hanya untuk mengambil sumber daya alam, yang berujung pada konflik dan mengorbankan masyarakat adat.
"Jangan heran kalau beberapa tahun ke depan, masyarakat tidak lagi memiliki tanahnya, karena pihak asing yang menguasainya. Ini ancaman konflik yang sangat nyata," ujarnya.
Ketua DPRD Ketapang yang juga tokoh masyarakat adat Melayu, Gusti Kamboja, menyambut baik penelitian ini. Dia menegaskan, keberadaan masyarakat adat Melayu sangat jelas di Ketapang.
"Sebagai anggota DPRD yang satu di antara tugasnya membuat Perda, saya sangat menyambut baik. Dewan siap menampung dan ikut ambil bagian, termasuk saya sendiri," ujar Kamboja.
Seorang anggota tim peneliti, A Alibata, mengatakan, keberlanjutan pembangunan harus berwawasan ekologis, pertumbuhan ekonomi, dan keberlanjutan sosial budaya. Dia memaparkan, konflik kepentingan pembangunan dalam bentuk kapitalisme sudah terjadi dilapangan.
Bentuknya berupa timbulnya konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan hutan tanaman industri (HTI).
Penelitian ini diharapkan bisa menunjukkan bahwa masih masyarakat adat masih eksis. Hasil penelitian juga dimaksudkan sebagai materi penyusunan rencana raperda inisiatif (masyarakat) mengenai pengelolaan SDA berbasis masyarakat Adat.
"Apalagi saat ini draf UU Perlindungan masyarakat adat sudah ada di badan legislasi DPR RI. Keberadaan masyarakat adat di Ketapang tidak perlu lagi diragukan," tegas Alibata. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar